Kelompok etnis Jawa merupakan kelompok etnis terbanyak keempat di Suriname membentuk 14,6% dari penduduk di sana. Sekitar 40% dari populasi Suriname adalah keturunan dari India Britania (British India) dan buruh kontrak asal Jawa. Bagaimana etnis Jawa bisa membentuk mayoritas di Suriname, negara yang berjarak sekitar 19 ribu kilometer dari pulau Jawa? Mari kita simak.
Setelah abolisi perbudakan pada tahun 1863, Pulau Jawa dipertimbangkan sebagai sumber buruh alternatif. Namun, pada awalnya, percobaan untuk membawa orang-orang dari Jawa gagal karena pemerintah Belanda tidak mengizinkan migrasi dari suku Jawa ketika ada kemungkinan untuk menggaet buruh dari India. Pada tahun 1880-an, percobaan ini menjadi lebih kuat karena adanya perubahan iklim politik di India. Setelah di lobi pemilik perkebunan dan dinas Suriname pada tahun 1990, pemerintah Belanda memutuskan untuk mengizinkan uji coba dengan 100 imigran penduduk Jawa yang melakukan kontrak. Hingga tahun 1939, sebanyak hampir 33.000 kelompok etnis Jawa bermigrasi ke Suriname.
Di Suriname, perekrut buruh diberi tugas ke perkebunan sehingga mereka harus menyediakan tempat tinggal gratis untuk buruh Jawa. Namun, kualitas dari tempat tinggal tersebut sering kali tidak layak dan kebanyakan buruh mengklaim bahwa upah yang mereka dapatkan lebih rendah daripada yang dijanjikan. Mereka juga harus menyesuaikan diri untuk menghadapi kehidupan baru, menjalankan diet, siap bekerja di lingkungan keras, kemudian diperparah dengan kerinduan mereka terhadap kampung halaman.
Kebanyakan buruh Jawa menetap secara permanen di Suriname. Mereka merasa jika pulang ke kampung halaman akan lebih miskin dibandingkan ketika mereka sampai ke Suriname, yang lain mengkhawatirkan rasa malu dan ejekan ketika mereka kembali ke Jawa tanpa sesuatu yang dapat mereka perlihatkan ketika mereka berada di Suriname, dan sebagian lainnya mengkhawatirkan perjalanan pulang dengan kapal.
Gelombang berikutnya dari imigran Jawa ke Suriname terdiri atas penetap bebas. Salah satu imigran tersebut adalah WC “Bob” Menajan. Ia meninggalkan kampung halamannya di Sukabumi tanpa bekal bahasa Jawa. Ia hanya bisa berbicara bahasa Belanda dan “sedikit” bahasa Melayu (“sedikit” merupakan evaluasi yang cukup rendah hati, hal ini disebabkan oleh fasihnya Bob dalam melafalkan bahasa ini kepada pewawancara). Meskipun ia menguasai Sranan Tongo, bahasa utama Suriname, ia serta anak cucunya tidak tertarik untuk pulang ke Indonesia maupun fasih dalam berbahasa Jawa sekalipun Bob dapat bermain gamelan, menikmati alunan angklung, dan musik keroncong (musik Bengawan Solo masih membuatnya berlinang air mata). Namun, Bob tetap mendukung usaha Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie (Asosiasi untuk Peringatan Imigrasi Jawa/VHJI) untuk mempromosikan budaya Jawa.
Dibentuk pada tahun 1985, VHJI memiliki tujuan untuk berkontribusi terhadap kesadaran nasional, pelestarian kesenian Suriname secara umum, dan budaya serta seni Jawa secara khusus. Pemuda dan anak-anak merupakan salah satu sasaran dari VHJI, hal ini bisa dilihat dari anak muda Jawa belajar menari, bermain gamelan, berbatik, pencak silat atau menari. Penggabungan budaya modern dengan budaya Indonesia juga cukup terasa, yaitu saat musik Lady Gaga dapat digabungkan dengan musik gamelan.
Migrasi yang dimulai sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, kelompok etnis di Suriname tidak lagi menjaga hubungan yang kuat dengan tanah airnya. Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Suriname yang berdiri pada tahun 1995 pun berencana untuk menguatkan tali hubungan antara Indonesia dengan Suriname serta memperkuat budaya Indonesia di Suriname. Hal ini diterapkan dalam bentuk wayang kulit, tarian adat, pencak silat, bahasa Indonesia, serta stasiun radio dan acara televisi berbahasa Jawa.
Kembalinya keeratan antara penduduk Jawa asal Suriname dengan budaya asalnya merupakan kabar yang menyenangkan. Namun, kita juga harus ingat bagaimana mereka bisa sampai hingga menjadi penduduk di Suriname. Jejak darah kolonialisme mengawali kependudukan mereka di Suriname. Mereka harus berjuang serta sering mengalami ketidakadilan di tanah orang lain. Dengan menyadari hal ini, kita dapat berempati pada perjuangan mereka dan melestarikan serta memperkenalkan kebudayaan Jawa serta mempelajari kebudayaan yang mereka terapkan di Suriname.
(IAR)